Selasa, 11 Maret 2025

Gaji Cepat Habis? Coba 4 Tips Ini Biar Keuangan Makin Stabil


Kamu pasti sering dengar pepatah "lebih besar pasak daripada tiang" kan? Artinya, pengeluaran kamu lebih besar daripada pemasukan. Nah, hal seperti ini bisa kejadian ke siapa saja, termasuk kamu.

Makanya, kita harus lebih bijak mengatur keuangan biar nggak tekor. Tapi bagaimana caranya? Cuma nabung aja ternyata nggak cukup, lho! Ada beberapa hal yang perlu kamu lakuin biar keuanganmu lebih stabil.

1. Cek Barang yang Sudah Kamu Punya

Sebelum beli sesuatu, coba cek dulu, kamu udah punya barang serupa belum? Misalnya tas atau sepatu, kalau masih bagus dan layak pakai, kenapa harus beli lagi? Kalau cuma rusak sedikit, mungkin cukup diperbaiki aja. Jadi, nggak perlu keluar duit buat sesuatu yang sebenernya belum perlu.

2. Tanyakan ke Diri Sendiri: Kenapa Mau Belanja?

Pernah nggak sih, tiba-tiba pengin belanja cuma karena lagi bosan? Hati-hati, ini jebakan! Jangan sampai beli sesuatu cuma karena impulsif. Sebelum checkout atau bayar di kasir, tanya dulu ke diri sendiri, "Emang beneran butuh atau cuma pengin aja?"

3. Ambil Uang Seperlunya

Kalau mau belanja, coba bawa uang tunai secukupnya. Misalnya, kamu sudah bikin daftar belanja, ya bawa uang sesuai perkiraan aja. Kalau bawa duit kebanyakan, bisa-bisa tergoda beli ini-itu yang sebenernya nggak penting.

4. Prioritaskan Kebutuhan

Belanja bukan cuma soal barang, lho! Jajan makanan yang nggak perlu juga bisa bikin kantong jebol kalau keseringan. Jadi, tetap fokus ke kebutuhan utama, jangan gampang tergoda beli sesuatu yang nggak masuk dalam rencana keuanganmu.

Selain itu, jangan lupa mikirin kebutuhan jangka panjang, terutama yang berkaitan sama kesehatan dan masa depan. Soalnya, hidup nggak cuma buat hari ini aja, kan?

Jadi, yuk mulai lebih bijak dalam mengelola keuangan! Biar nggak nyesel di kemudian hari. 💰✨

Selasa, 18 Februari 2025

Masih Perlukah Asuransi Kesehatan Tambahan di Luar BPJS dan Asuransi Perusahaan?


Banyak orang berpikir bahwa memiliki BPJS dan asuransi kesehatan dari perusahaan sudah cukup untuk melindungi diri dari risiko kesehatan. Namun, apakah benar tidak perlu lagi asuransi tambahan? Mari kita bahas lebih dalam.


1. BPJS Kesehatan: Sudah Cukup atau Masih Kurang?

BPJS Kesehatan adalah program wajib dari pemerintah yang memberikan cakupan kesehatan dasar buat semua orang. Tapi, ada beberapa hal yang perlu kamu tahu:

  • Waktu Tunggu : Untuk beberapa prosedur medis, antriannya bisa lumayan panjang.
  • Fasilitas Terbatas : Tidak semua rumah sakit swasta menerima BPJS, jadi pilihannya bisa terbatas.
  • Obat dan Pelayanan : Beberapa obat atau layanan kesehatan tertentu mungkin tidak sepenuhnya ditanggung.

Kalau kamu bukan tipe yang mau ribet dan tidak masalah dengan keterbatasan ini, BPJS mungkin sudah cukup. Tapi, kalau kamu pengin akses lebih cepat dan nyaman, maka kamu perlu pertimbangkan punya asuransi tambahan.


2. Asuransi Kesehatan dari Perusahaan itu Aman, Tapi…

Banyak perusahaan sekarang menawarkan asuransi kesehatan sebagai benefit buat karyawannya. Biasanya, asuransi ini lebih oke dibanding BPJS karena:

  • Cakupannya Lebih Luas - Sehingga bisa dipakai di rumah sakit swasta.
  • Proses Cepat - Pelayanan biasanya lebih cepat dan tidak perlu antri lama.
  • Ada Tambahan Manfaat - Seperti manfaat rawat inap, rawat jalan, atau bahkan konsultasi dokter spesialis.

Tapi, ingat! Asuransi ini cuma berlaku selama kamu masih kerja di perusahaan tersebut. Kalau kamu resign atau pensiun, ya udah, perlindungannya hilang. Jadi, jangan terlalu bergantung sama ini, ya!


3. Kenapa Mungkin Butuh Asuransi Tambahan?

Nah, ini dia beberapa alasan kenapa asuransi tambahan bisa jadi pilihan buat kamu:

  • Fleksibilitas: Kamu bisa pilih plan yang sesuai sama kebutuhanmu, kayak cakupan rumah sakit tertentu atau manfaat tambahan kayak dental check-up.
  • Perlindungan Jangka Panjang: Asuransi swasta biasanya bisa kamu pertahankan bahkan setelah resign dari pekerjaan.
  • Kondisi Kesehatan Khusus: Kalau kamu punya riwayat penyakit tertentu atau gaya hidup yang berisiko, asuransi tambahan bisa jadi safety net buat jaga-jaga.


4. Tapi, Jangan Lupa Cek Kantong!

Asuransi tambahan memang menawarkan banyak benefit, tapi jangan lupa, ada biaya preminya juga. Sebelum memutuskan, pastikan:

  • Kamu mampu bayar premi bulanan/tahunan tanpa bikin kantong jebol.
  • Manfaat yang ditawarkan sebanding sama biaya yang kamu keluarkan.

Kalau kamu merasa BPJS dan asuransi perusahaan sudah cukup, nggak masalah! Kamu bisa alokasikan dana buat tabungan darurat kesehatan sebagai cadangan.


5. Alternatif Lain: Sesuaikan dengan Kebutuhan

Tidak mau ribet dengan asuransi tambahan? Tenang, ada beberapa alternatif lain:

  • Dana Darurat Kesehatan: Sisihkan sebagian penghasilan buat dana darurat khusus kesehatan.
  • Asuransi Penyakit Kritis: Buat jaga-jaga kalau ada penyakit serius kayak kanker atau jantung.
  • Asuransi Rawat Inap: Fokus buat cover biaya rawat inap aja, kalau itu yang kamu khawatirkan.


Kesimpulan: Pilih yang Paling Sesuai dengan Kebutuhanmu!

Jadi, masih perlu nggak sih asuransi tambahan? Jawabannya: It depends!  

  • Kalau kamu merasa BPJS dan asuransi perusahaan sudah cukup, ya nggak perlu.
  • Tapi, kalau kamu pengin punya akses lebih cepat, fasilitas lebih oke, atau perlindungan jangka panjang, asuransi tambahan bisa jadi pilihan yang worth it.

Pastinya kalo kamu ingin punya perlindungan kesehatan yang lebih fleksibel dan sesuai dengan gaya hidup modern, punya asuransi kesehatan tambahan bisa menjadi investasi yang bijak. Dengan begitu, kamu tidak hanya mengandalkan BPJS dan asuransi perusahaan, tetapi juga punya perlindungan ekstra untuk menghadapi kemungkinan risiko kesehatan di masa depan.

Gimana, Sobat Muda? Udah ada gambaran kan? Kalau masih ada pertanyaan atau pengin diskusi lebih lanjut, tinggal komen di bawah! Stay healthy and stay smart! 💪✨

Selasa, 11 Februari 2025

Merintis Bisnis Sendiri Tanpa Resiko

Siapa sih yang nggak mau jadi bos untuk diri sendiri? Bebas atur waktu, kerja sesuai passion, dan tentu saja, nggak perlu terjebak di rutinitas kantor yang membosankan. 

Tapi di sisi lain, banyak orang yang takut mengambil langkah karena risiko yang mengintai. Takut gagal, takut modal habis, atau takut nggak punya penghasilan tetap.

Tapi, bagaimana kalau ternyata ada cara untuk jadi bos tanpa harus menghadapi risiko besar? Yuk, kita bahas!


1. Mulai dari Bisnis Tanpa Modal Besar

Banyak orang berpikir bahwa memulai bisnis butuh modal besar. Padahal, sekarang ada banyak peluang bisnis yang bisa dimulai dengan modal kecil atau bahkan tanpa modal sama sekali. Misalnya, menjadi freelancer, membuka jasa konsultasi, atau menjalankan bisnis sebagai seorang financial preneur yang banyak diminati kebanyakan anak muda sekarang ini.


2. Manfaatkan Keahlian yang Sudah Dimiliki

Nggak perlu langsung terjun ke bisnis yang benar-benar baru. Mulailah dengan keahlian yang sudah kamu kuasai. Jika kamu jago menulis, coba jadi content writer atau blogger. Kalau kamu suka desain, bisa mulai terima proyek desain grafis. Dengan begitu, kamu nggak perlu menghabiskan waktu dan uang untuk belajar dari nol.


3. Uji Coba Sebelum Berpindah Haluan

Jangan buru-buru resign kalau belum siap. Kamu bisa memulai bisnis sebagai pekerjaan sampingan terlebih dahulu. Ini akan memberi kamu kesempatan untuk menguji apakah bisnis tersebut bisa berkembang dan menghasilkan pendapatan yang stabil sebelum kamu benar-benar beralih sepenuhnya.


4. Gunakan Teknologi untuk Mempermudah

Di era digital, banyak alat dan platform yang bisa membantu menjalankan bisnis dengan lebih mudah. Marketplace, media sosial, hingga aplikasi manajemen keuangan bisa membantu kamu menjalankan bisnis tanpa harus repot dengan urusan operasional yang berat.


5. Bangun Jaringan dan Kolaborasi

Jadi bos untuk diri sendiri bukan berarti harus bekerja sendirian. Bangun relasi dengan orang-orang yang bisa membantu mengembangkan bisnismu. Bergabunglah dengan komunitas, ikuti seminar, atau cari mentor yang bisa memberikan wawasan dan dukungan.


6. Fokus pada Pendapatan yang Berulang

Salah satu cara untuk mengurangi risiko dalam bisnis adalah dengan mencari model bisnis yang memberikan pendapatan berulang. Misalnya, menjual produk atau layanan berbasis langganan, membangun bisnis digital dengan monetisasi iklan, atau menjalankan bisnis afiliasi.


7. Tetap Fleksibel dan Terus Belajar

Dunia bisnis terus berubah, jadi penting untuk tetap fleksibel dan terus belajar. Jika ada strategi yang nggak berhasil, jangan takut untuk beradaptasi dan mencoba pendekatan baru. Kesuksesan nggak datang dalam semalam, tapi dengan ketekunan, kamu pasti bisa mencapainya.

Menjadi bos bagi diri sendiri memang terdengar seperti mimpi, tapi dengan strategi yang tepat, kamu bisa mewujudkannya tanpa harus mengambil risiko besar. Mulailah dari yang kecil, manfaatkan teknologi, dan jangan takut untuk terus belajar. Siapa tahu, langkah kecil yang kamu ambil hari ini bisa mengantarkanmu ke kebebasan finansial di masa depan.

Mau ngobrol lebih lanjut soal bisnis tanpa risiko? Yuk, ngopi dulu! ☕😉

Rabu, 08 Januari 2025

Mahalnya Biaya Berobat, Dari Jatuh Sakit Bisa Jatuh Bangkrut


Jakarta, CNBC Indonesia- Bagi orang Indonesia, ketika divonis terkena suatu penyakit kadang-kadang hal yang pertama ditakuti bukan masalah sembuh atau tidaknya. Tetapi justru apakah mereka memiliki uang yang cukup untuk mengobati penyakitnya.


Mahalnya Biaya Berobat, Dari Jatuh Sakit Bisa Jatuh Bangkrut


Seperti yang dialami oleh Radian Nyi Sukmasari yang divonis kanker payudara stadium 3 ketika usianya menginjak 26 tahun.


Saat bercerita dengan CNBC Indonesia, wanita yang biasa dipanggil Dian itu mengaku didiagnosis kanker payudara pada Desember 2017. Ia sempat terkejut karena selama ini sehat-sehat saja, tapi tahu-tahu dibilang terkena kanker stadium 3.


Ketika divonis dokter, diakui Dian, ketakutan terbesar bukan karena penyakit melainkan biaya pengobatannya. "Saat divonis yang ada di pikiranku cuma 'Duh, gua punya uang cuma sedikit dan nggak punya tabungan'. Andai aku punya uang Rp 200 juta mungkin akan lebih tenang karena aku tahu biaya pengobatan kanker itu banyak," cerita Dian saat berbincang di kawasan Tendean, Jakarta Selatan.


Dian mengatakan bahwa dirinya tidak memiliki tabungan baik berupa aset maupun bentuk lainnya. Ia juga tidak membeli asuransi kesehatan atau ikut BPJS karena tak pernah mengira akan menjadi penderita kanker.


Ia kemudian memikirkan bagaimana cara untuk membayar biaya berobat ke depannya. Biaya yang dibutuhkan tentu tidak murah dan ia hanya punya asuransi kantor.

Pengobatan seperti pemasangan pemeriksaan PET SCAN (positron emission tomography scanning) misalnya membutuhkan biaya kurang lebih Rp 11 juta. Ia juga dijadwalkan menjalani operasi pemasangan cell site untuk persiapan kemoterapi sehari setelah divonis. Biaya operasi yang dibutuhkan mencapai Rp 44 juta. Demi membayar biaya tersebut, Dian rela berhutang kepada kantor yang memberikan dana talangan terlebih dahulu.


"Habis divonis, operasi cell site keesokan harinya nggak bisa ditunda karena dokter yang menanganiku mau pergi ke Jerman. Dapat uang dari mana segitu besar dalam satu hari? Akhirnya kantor mau menalangi dulu buat biaya operasi cell site," ujarnya.


Setelah operasi cell site, Dian harus menjalani lima kali kemoterapi rutin setiap tiga minggu sekali. Biaya kemoterapi menelan dana sekitar Rp 4 juta sampai Rp 6 juta untuk sekali perawatan. Angka tersebut ia berusaha minimalkan dengan membeli obat dari luar rumah sakit.


Dian memutuskan untuk membeli obat kemoterapi kanker payudara jenis generik seharga Rp 2,5 juta di Yayasan Kanker Indonesia (YKI). Berbeda dengan obat kemoterapi jenis paten yang harganya Rp 8 juta. Sementara biaya paket kemoterapi di rumah sakit swasta sekitar Rp 1,5 juta sampai Rp 3 juta tergantung apakah ada tambahan pemeriksaan lain seperti radiologi atau semacamnya.


Dian memulai pengobatan kemoterapi sejak Januari 2018 sampai saat ini. Ia mengatakan biaya berobatnya sebagian ditanggung asuransi kantor dan uang pribadi. Dian mengatakan tidak menggunakan BPJS walaupun sempat mendaftarkan diri sebagai pasien BPJS pada Januari lalu. Ia hanya ingin merasakan fasilitas yang nyaman ketika berobat melihat banyak orang mengeluhkan tentang layanan BPJS.


"Bayar pribadi saja kadang masih suka nggak sesuai pelayanannya apalagi pakai BPJS. Kondisi aku juga nggak bisa diprediksi kadang bisa drop banget, kayaknya nggak kebayang kalau pakai BPJS yang banyak tahapannya," tambahnya.


Dian pun mengaku menguras semua gajinya untuk biaya berobat. Meski demikian, ia masih bersyukur memiliki keluarga dan teman yang peduli terhadap kondisinya. Dian mendapatkan bantuan dana dari donasi yang digalang secara online oleh teman-teman. Meski dana tersebut sangat membantunya tentu tidak bisa menutupi semua biaya.

Belum lagi biaya operasi mastektomi (pengangkatan payudara) yang sebentar lagi akan dijalaninya. Dian sendiri belum mengetahui berapa biaya operasi yang akan dihabiskan. Tidak hanya itu, kondisi tubuh yang lebih lemah dari sebelumnya diakui Dian membuat pengeluaran operasionalnya semakin besar.


Secara keseluruhan, Dian menghabiskan biaya pengobatan lebih dari Rp 100 juta sampai saat ini. Biaya tersebut belum termasuk uang operasional yang dikeluarkan serta dana untuk operasi mastektomi dan perawatan setelahnya.


Dian pun mengaku ada penyesalan karena selama bekerja tak pernah menabung. "Sakit itu mahal, butuh duit, sisihkan uangmu buat ditabung kalau perlu khusus tabungan kesehatan. Dan buat para perempuan jangan lupa sadari kanker payudara sejak dini karena kalau ketahuan di awal akan lebih baik, biayanya juga nggak sebesar kalau sudah stadium lanjut," pesan Dian di akhir perbincangan.


Dian Bukan Satu-Satunya, Lalu Apa yang Bikin Biaya Rumah Sakit Tinggi?


Cerita Dian tentunya bukan satu-satunya cerita tentang tantangan hidup yang dihadapi warga Jakarta soal biaya pengobatan. Bisa saja anda, kerabat, atau kenalan anda memiliki kisah yang serupa soal habis-habisan keluar dana berobat.


Lebih takut tidak sanggup bayar ketimbang tidak dapat sembuh menjadi tanda tanya begitu mahalnya kah biaya pengobatan rumah sakit saat ini, terutama rumah sakit swasta? Lantas apa yang menyebabkan rumah sakit menjadi mahal?


Soemaryono Rahardjo, SE, MBA, selaku perwakilan dari Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) menjelaskan selalu ada peningkatan tarif di rumah sakit swasta di Indonesia. Itu terjadi karena mengikuti laju inflasi. Selain itu, perkembangan teknologi juga mempengaruhi biaya berobat di rumah sakit.


"Setiap rumah sakit berbeda-beda terutama karena teknologi semakin maju. Inflasi sudah jelas dan untuk membuat ID itu kan nggak murah ya," ujar Soemaryono saat diwawancara CNBC Indonesia usai acara Indonesia Hygiene Forum dari Unilever di Thamrin Nine, Chubb Square, Jakarta Pusat.


Lebih lanjut, Soemaryono mengatakan bahwa harga obat setiap tahun terus meningkat. Biaya obat menjadi modal tertinggi yang mempengaruhi sekitar 35% sampai 40% dari tarif rumah sakit. Soemaryono juga menuturkan kalau rumah sakit swasta semua modal menggunakan dana pribadi. Berbeda dengan rumah sakit pemerintah yang memiliki berbagai subsidi termasuk pembelian alat.


"Kalau swasta semua sendiri kalau pemerintah ada subsidinya. Semua alat kita modal sendiri, kalau pemerintah gaji ditanggung, investasi alat ditanggung. Untuk balik modal itu kan harus ada hitungannya," tambahnya.


Sementara, Fajaruddin Sihombing perwakilan dari Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) menjelaskan bahwa faktor mahal yang ditanggung pasien biasanya terjadi karena tak ada rujukan kedokteran yang terpadu, juga kurangnya regulasi pada pelayanan kedokteran.


Pelayanan, kata dia, juga terkesan komersil karena faktor digitalisasi yang membuat biaya meningkat. Ia juga menjelaskan semakin meningkatnya pelayanan kesehatan maka bisnis pelayanan kedokteran juga terkena dampak komersialisasi, dan berimbas pada tingginya ongkos kesehatan.


Tetapi, kata Fajar, masyarakat memiliki pilihan untuk menindak atau mengatasi penyakitnya dengan memanfaatkan akses kesehatan publik yang dijamin pemerintah. "Apalagi sekarang sudah banyak rumah sakit yang menerima layanan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dari pemerintah, dan bisa mengurangi beban biaya si pasien," ujar Fajar kepada CNBC Indonesia saat ditemui acara Forum Diskusi Philips Indonesia.


Sumber : CNBC Indonesia,


Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *



 

Copyright © Betty Deanira . All rights reserved. Template by CB Blogger & Templateism.com